PERFORMA REPRODUKSI KAMBING PE


KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kambing Peranakan Etawah (PE)

    Kambing merupakan ternak hasil domestikasi kambing liar beribu tahun lalu. Berbagai jenis kambing liar yang telah didomestikasi diantaranya Kambing Liar Eropa (Capra aegagrus), Kambing Liar India (Capra aegagrus lithy) dan Kambing Makhor di Pegunungan Himalaya (Capra falconeri). Kambing yang diternakan di wilayah Asia sebagian besar berasal dari keturunan Kambing Bezoar atau Kambing Liar Eropa (Capra aegagrus) yang telah didomestikasi kurang lebih sekitar 8000-7000 tahun sebelum masehi (SM) (Batubara, dkk., 2006). Menurut pendapat Salasa (2010), klasifikasi kambing adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Sub Famili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : C. aegagrus
Sub Species : Capra aegagrus hircus
    Beberapa jenis kambing perah yang telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan Indonesia diantaranya Kambing Jamnapari (Etawa), Peranakan Etawa (PE), Saanen, Sapera, Alpines, Anglo-Nubian, dan Toggenburg (Kaleka dan Haryadi, 2013). Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara Kambing Kacang dan Etawah (dari India) (Batubara, dkk., 2006; Keputusa menteri pertanian (Kepmentan), 2013; Atabany, 2013) dengan grading up (kawin tatar) pada Kambing Etawah (Atabany, 2013).
     Kambing PE merupakan tipe dwiguna yang dapat dimanfaatkan daging dan susunya (Batubara, dkk., 2006; Atabany, 2013). Kambing PE memiliki ciri khusus yang dapat dibedakan dari kambing Indonesia lainnya. Bentuk muka cembung melengkung serta dagu berjanggut, dengan telinga panjang dan terkulai, ujungnya agak berlipat serta memiliki ekor yang pendek, terdapat gelambir di bawah leher yang tumbuh berawal dari sudut janggut, ujung tanduk agak melengkung, tubuh tinggi, pipih. Secara umum, kambing PE memiliki bentuk garis punggung mengombak ke belakang, kambing betina memiliki garis punggung lurus yang semakin tinggi sampai pinggul. Bulu tumbuh panjang di bagian leher, pundak, punggung dan lebih tebal di bagian paha. Kambing PE betina tidak memiliki jenggot dengan bulu pada leher dan pinggul lebih panjang. Warna bulu yang sering ditemukan yakni kombinasi dua atau tiga warna antara hitam, coklat atau putih, jarang ditemukan kambing dengan satu pola warna bulu (Kepmentan, 2013; Batubara, dkk., 2006).

2.1.1 Peternakan Rakyat

       Pemeliharaan kambing merupakan komoditas strategis dalam pengentasan kemiskinan di banyak negara (Devendra, 2000 dalam Sugiarto dan Nur, 2013). Karakteristik masyarakat negara berkembang diantaranya sebagian besar penduduknya berprofesi bertani, termasuk beternak. Peternakan rakyat memiliki ciri-ciri diantaranya skala usaha yang relatif kecil, merupakan usaha rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan dan ternak berfungsi sebagai tabungan (jika ada suatu keperluan mendesak dapat dijual), penggunaan teknologi masih sederhana yang berakibat pada mutu produk yang tidak seragam dan produktivitas rendah, padat karya dan berbasis pada kekeluargaan (Yunita, dkk., 2017; Budiarsana, dkk., 2003 dalam Mulyawati, dkk., 2016). Selanjutnya dinyatakan bahwa skala kepemilikan usaha kambing pada peternakan rakyat berkisar 3 sampai 7 ekor, dengan pemeliharaan dan perkembangbiakan dibiarkan secara alami.
      Sumber daya manusia (peternak) berperanan penting dalam usaha peternakan, karena peternak memegang kendali rantai produksi, distribusi dan konsumsi (Penda, 2012 dalam Sugiarto dan Nur, 2013). Produksi pertanian akan berlanjut sebagai bentuk akumulasi dari produktivitas sumber daya petani peternak dan inovasi terknologi. Becker dan Gerhart (1996) dalam Sugiarto dan Nur (2013) menambahkan bahwa sumber daya manusia memberikan pengaruh pada dua hal, pertama produktivitas tenaga kerja kedua peningkatan efisiensi usaha dan keterampilan tenaga kerja yang terdidik. Modal sumber daya manusia menjadi sangat signifikan berkaitan dengan peningkatan pendidikan dan pengalaman usaha (Becker, 1993 dalam Sugiarto dan Nur, 2013), ditambahkan oleh Grossman and Helpman (1991) dalam Sugiarto dan Nur (2013) bahwa salah satu aspek penting dalam potensi sumber daya manusia adalah pengetahuan yang dapat mengubah input/sarana menjadi output produksi.
      Produktivitas dan efisiensi produksi merupakan salah satu ukuran daya saing komoditas pertanian termasuk di dalamnya peternakan, hal ini dapat ditingkatkan melalui introduksi pengetahuan baru dan investasi (Zubovic, dkk., 2009 dalam Sugiarto dan Nur, 2013). Sumber daya manusia merupakan hasil dari akumulasi kompetensi, keterampilan, pengetahuan, dan sikap dalam menghasilkan nilai–nilai ekonomi (Crook, dkk., 2011 dalam Sugiarto dan Nur, 2013). Sebagai bagian dari sumber daya manusia, jenis kelamin seringkali menjadi indikator produktivitas usaha peternakan, dengan perbedaan tugas antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan gender dalam usaha peternakan berpengaruh terhadap kesejahteraan dan pendapatan rumah tangga (Assan, 2014). Menurut pendapat Hill (2009) beberapa hal terkait gender pada bidang peternakan diantaranya peran dan tangung jawab dalam pengambilan keputusan, produksi hingga pemasaran, akses dan kontrol terhadap ternak, serta masih terdapat ketimpangan dalam memperoleh jasa, begitupula ketimpangan pengetahuan mengenai penyakit, pakan, dan manfaat ternak itu sendiri. Hal tersebut didukung pula oleh pendapat Paudel, dkk., (2009) yang menyatakan masih terdapat bias gender dalam produksi peternakan, yang mana perempuan lebih sedikit berpartisipasi dalam pelatihan. Terdapat perbedaan tugas antara laki-laki dan perempuan dalam tatakelola peternakan, diantaranya keterlibatan perempuan lebih banyak pada kegiatan tanpa upah, seperti membersihkan kandang, memberi pakan, dan memerah (Paudel, dkk., 2009). Yunita, dkk., (2017) menjelaskan bahwa terdapat pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam memelihara ternak yakni mencari pakan, membersihkan kandang, memerah susu, dan menjual ternak. 
      Karakteristik sosial ekonomi peternak yang meliputi jumlah ternak, umur, tingkat pendidikan, lamanya beternak, jumlah tanggungan keluarga, jumlah tenaga kerja, luas kandang, jumlah investasi, total penerimaan produksi dan total biaya produksi dapat mempengaruhi peternak dalam mengambil keputusan yang dapat memberikan keuntungan bagi usaha ternaknya (Indrayani dan Andri, 2018). Karakteristik sosial peternak yang dianggap penting diantaranya umur, pendidikan, pengalaman beternak, serta jumlah ternak (Indrayani dan Andri, 2018). Hasil penelitian Mulyawati, dkk., (2016) menunjukkan bahwa pendidikan dan jumlah ternak berpengaruh terhadap perilaku beternak, sementara umur dan pengalaman beternak tidak memberikan pengaruh terhadap perilaku beternak.
      Peternak dengan umur muda cenderung memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dibandingkan peternak dengan umur tua. Umur juga menentukan produktivitas serta pola manajemen yang dilakukan peternak (Indrayani dan Andri, 2018). Petani usia lanjut biasanya fanatik terhadap tradisi dan sulit untuk menerima inovasi dan teknologi (Soekartawi, 2002). Soekartawi (1993) dalam Mulyawati, dkk., (2016) menjelaskan bahwa peternak dengan usia muda lebih cepat melakukan adopsi inovasi meskipun pengalaman beternaknya masih sedikit. Didukung pendapat Hermawati (2002) dalam Waris, dkk., (2015) yang menyatakan bahwa petani atau peternak dengan umur produktif lebih mudah dalam proses adopsi inovasi dibandingkan dengan petani atau peternak dengan umur lebih tua atau lebih muda.      Tjiptoherijanto (2001) menyatakan bahwa dalam analisis demografi struktur umur penduduk dibagi menjadi tiga kelompok yakni :
1) Kelompok umur muda, dibawah 15 tahun;
2) Kelompok umur produktif, usia 15–64 tahun; dan
3) Kelompok umur tua, usia 65 tahun ke atas.
      Tingkat pendidikan menunjukkan pendidikan formal yang dilalui oleh peternak. Indrayani dan Andri (2018) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan dapat menjalankan manajemen penanganan yang lebih baik dalam hal teknis pengelolaan maupun manajerial. Semakin tinggi tingkat pendidikan peternak maka tatalaksana pemeliharaan semakin baik, hal ini berkaitan dengan kemampuan adopsi inovasi, cara berpikir, dan pemecahan masalah yang semakin matang (Murtiyen, dkk., 2005 dalam Mulyawati, dkk., 2016). Tingkat pendidikan dan lama beternak berakumulasi mendukung kemampuan pengelolaan peternakan. Pengalaman beternak mempengaruhi kemampuan pengelolaan usaha peternakan (Indrayani dan Andri, 2018). Peternak dengan pengalaman beternak yang lebih banyak memiliki kemampuan evaluatif sehingga tatalaksana pemeliharaan seharusnya mengalami perubahan dari tradisional menjadi intensif (Sihite, 2006 dalam Mulyawati dkk., 2016). 
      Masyarakat peternak lebih responsif jika dilakukan penyuluhan dan praktik secara langsung. Pembinaan masyarakat yang dilakukan oleh Ali, dkk., (2012) menyebutkan bahwa masyarakat peternak kambing di Kabupaten Malang sangat responsif dan proaktif baik selama penyuluhan, pembinaan, demplot, maupun pendampingan. Kartasapoetra (1987) dalam Fauziyah, dkk., (2015) menyatakan bahwa pendidikan informal (penyuluhan/pelatihan) dapat memudahkan penerimaan informasi serta meningkatkan kompetensi peternak. Hasil penelitian Anggriyani, dkk., (2012) menyimpulkan bahwa sebagian besar responden pada Kelompok Tani Sido Rejo dan Sido Mulyo di Kabupaten Bantul memilih sumber informasi personal (yang melibatkan manusia secara langsung).

2.1.2 Usaha Kambing

      Kombinasi faktor-faktor produksi berupa lahan, tenaga kerja dan juga modal untuk dapat menghasilkan produk peternakan dinamakan sebagai usaha peternakan (Indrayani dan Andri, 2018). Usaha ternak kambing menurut pendapat Sodiq (2010) terdapat beberapa jenis diantaranya usaha untuk menghasilkan anakan (meat purpose), daging dan susu (dual purposes) atau model kombinasi dan sebagai cabang usaha tani (model integrasi). Pelaksanaan sistem usaha peternakan tidak jarang diintegrasikan dengan tanaman pangan, buah, dan sayur menjadi sistem pertanian terintegrasi (Devendra, 2002). Usaha ternak kambing merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam menunjang pendapatan petani disamping usaha pertanian lainnya (Rusdiana dan Hutasoit, 2014). Sabrani dan Knipscheer (1995) dalam Sodiq (2010) menjelaskan bahwa ruminansia kecil memberikan sumbangan pada pendapatan total usaha tani di dataran rendah, perkebunan karet, dan dataran tinggi masing-masing sebanyak 17, 26 dan 14 persen.
     Ternak kambing dapat hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sulit, serta dapat menggunakan pakan yang tidak biasa dimakan oleh ternak lain dengan baik (FAO, 1986 dalam Sugiarto dan Nur, 2013). Kambing perah merupakan salah satu usaha peternakan rakyat yang menjadi penyangga pendapatan masyarakat pedesaan. Skala kepemilikan kambing menurut Devendra (2001) dalam Sukendar, dkk., (2005) bahwa :
1. Skala kecil dengan kepemilikan 1-5 ekor.
2. Skala sedang dengan kepemilikan 6-10 ekor.
3. Skala besar dengan kepemilikan lebih dari 10 ekor.
     Kusumastuti (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa usaha ternak kambing akan memperoleh keuntungan dengan memiliki minimum 2-3 ekor induk dan manajemen peternakan yang intensif.

2.2 Penanganan Reproduksi Kambing Perah Betina


1. Kandang
     Kandang diusahakan memenuhi beberapa persyaratan tertentu agar memudahkan penanganan yang dilakukan oleh peternak. Kandang kambing harus sesuai dengan ukuran serta tipe ternak, atap kandang harus terbuat dari bahan yang menyerap panas, ringan, terhindar dari sinar matahari langsung dan dilengkapi dengan sanitasi kandang, vetilasi, dan drainase yang baik, mudah dibersihkan serta harus selalu bersih (Tambing, dkk., 2001; Atabany, 2001). Kandang sebaiknya dibuat panggung serta dinding kandang harus berventilasi (lubang angin) agar sirkulasi udara lebih baik (Prabowo, 2010). 
     Bahan yang digunakan untuk membuat kandang harus merupakan bahan yang kuat, murah dan tersedia di sekitar lokasi pembuatan kandang (Prabowo, 2010). Fungsi kandang bagi ternak diantaranya sebagai tempat berlindung dari cuaca dan predator, termpat beraktivitas, selain itu memudahkan pemeliharaan, pengendalian penyakit, penanganan kotoran, perhitungan untung rugi dalam usaha, serta memudahkan program seleksi (Sarwono, 2009). Ditambahkan oleh Prabowo (2010) bahwa kandang juga berfungsi untuk memudahkan pengawasan terhadap kambing yang sakit atau sedang dalam masa kebuntingan serta pemberian pakan ternak.
     Kandang yang umum digunakan di negara tropis diantaranya kandang panggung dan alas tanah (Devendra dan Burns, 1994). Kandang panggung sebaiknya berada pada ketinggian 1-1,5 meter dari tanah, hal ini untuk memudahkan pengumpulan feses dan urin ternak, untuk kandang lantai sebaiknya dibuat miring sampai 5% untuk memudahkan drainase (Ethiopia Sheep and Goat Productivity Improvement Program (ESGPIP), 2009). Selanjutnya ESGPIP (2009) menyarankan agar dibuatkan kandang yang sesuai dengan status fisiologi dan perkembangan ternak diantaranya jantan dewasa, induk bunting, dan anak yang disapih (tidak boleh disatukan dengan yang lebih muda atau lebih kecil), betina melahirkan, induk menyusui, dan betina dan jantan muda, serta kandang isolasi untuk ternak yang sakit. Ukuran kandang setiap jenis ternak kambing berbeda, tergantung perkembangan tubuh serta jenisnya (Syukur, 2009 dalam Prabowo, 2010). Pemisahan kandang berdasarkan status fisiologi tersebut bertujuan untuk memudahkan kontrol terhadap ternak, untuk menghindari inbreeding, menyediakan lingkungan yang nyaman bagi ternak, mengurangi risiko penyebaran penyakit (ESGPIP, 2009)

2. Pakan
     Pakan berperan penting dalam perkembangan status fisiologi reproduksi ternak. Penurunan kualitas pakan yang terjadi pada musim kemarau maupun musim hujan berpengaruh terhadap waktu timbulnya berahi (Feradis, 2010). Kekurangan protein atau kekurangan salah satu asam amino dapat menimbulkan berhentinya estrus atau berahi pada ternak (Anggorodi, 1979). Penerapan flushing pakan pada ternak kambing dapat mempercepat waktu terjadinya estrus (Susilo, dkk., 2018). Menurut Feradis (2010), ternak muda lebih sensitif terhadap pengaruh nutrisi dibandingkan dengan ternak yang lebih tua, karena ternak muda sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Kekurangan dan kelebihan nutrisi terutama energi pada ternak muda akan mempengaruhi perkembangan seksual dan berahi. Pakan dan nutrisi yang cukup memengaruhi fungsi endokrin. Pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi ternak betina muda dapat dihambat oleh kekurangan pakan, meskipun tidak diketahui kurangnya energi, protein, mineral, maupun vitamin (Feradis, 2010).
     Kekurangan nutrisi selama pertengahan periode kebuntingan akan berpengaruh pada produksi susu induk kambing dan berpengaruh pada bobot sapih anak (Gimenez dan Rodning, 2007). Produksi kambing PE dapat dipenuhi apabila kebutuhan pakannya dapat terpenuhi, disamping hijauan dibutuhkan pula konsentrat seperti polar, bungkil, gula jawa, buah nangka (hijau), kulit kedelai, bekatul, ampas tahu, jagung, ketela dan singkong (Wasiati dan Faizal, 2018). Hasil penelitian Widnyana, dkk., (2014) menyimpulkan bahwa pemberian konsentrat lebih sedikit pada kambing memberikan pengaruh yang lebih baik.
     Peraturan Menteri Pertanian tahun 2014 (Permentan, 2014) menyebutkan bahwa kebutuhan bahan kering ternak kambing untuk pembibitan berkisar pada 3,6-4,5% bobot badan. Pemberian pakan hijauan sesuai dengan kondisi fisiologis ternak ruminansia. Beberapa pola kombinasi pemberian pakan hijauan pada kambing memberikan pengaruh pada peningkatan nilai ekonomi, diantaranya : kombinasi kalanjana dan kaliandra versus salak di Kabupaten Sleman; rumput lapang, kaliandra versus nangka di Kabupaten Gunung Kidul; rumput lapangan dan kaliandra versus kersen/talok di Kabupaten Bantul; serta rumput bede dan kaliandra versus kopi di Kabupaten Kulon Progo (Kusumastuti, dkk., 2010 dalam Kusumastuti, 2012). Selain pakan hijauan maupun konsentrat, air merupakan salah satu sumber kehidupan yang harus selalu tersedia. Penggunaan air dalam usaha peternakan selain digunakan untuk air minum, juga dibutuhkan untuk tatalaksana lainnya seperti pembersihan peralatan kandang dan memandikan ternak. Sumber air menurut Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tahun 2006 tentang good breeding practice yang menetapkan bahwa sumber air hendaknya memenuhi kriteria diantaranya tersedia sepanjang tahun, mudah dicapai atau mudah disediakan dan tidak mengganggu ketersediaan air bagi masyarakat.

3. Kesehatan dan Sanitasi
     Kesehatan dan sanitasi merupakan aspek penting dalam keberlangsungan usaha ternak. Kambing yang sehat memperlihatkan kondisi makan yang baik, matanya cerah (bersinar), bulunya klimis, kaki kuat, dan sering melakukan ruminasi (Sutama, 2007). Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan dan sanitasi diantaranya pengobatan, pencegahan penyakit, kebersihan lingkungan dan kegiatan yang dilakukan peternak harus dalam kondisi bersih. Performa reproduksi yang rendah dapat disebabkan karena penyakit (Gimenez dan Rodning, 2007). Ako (2013) menyatakan bahwa pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan pemberian vaksin secara rutin, memandikan ternak dan sanitasi kandang. Ditambahkan oleh Food and Agriculture Organization of the United Nations- International Dairy Federation Food (FAO-IDF), (2011) bahwa untuk meminimalkan penetrasi agen penyakit dilakukan dengan penggunaan peralatan kandang yang bersih.
     Beberapa permasalahan kesehatan yang sering ditemui di peternakan kambing diantaranya cacingan, kudis (scabies/kurap), diare, keracunan, dan kembung perut (Prabowo, 2010). Hasil penelitian Widyastuti, dkk., (2017) menunjukkan bahwa penyakit yang banyak berkembang di Kelompok Simpay Tampomas adalah scabies, mastitis, dan bloat, dengan gejala umum yang diketahui adalah berkurangnya nafsu makan dan demam. Berbagai pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan, baik dengan bantuan obat tradisional, maupun obat kimia. Prabowo (2010) menjelaskan bahwa penyakit cacingan yang disebabkan oleh cacing giling, pipih atau cacing pita ini dapat dilakukan melalui pengobatan dengan memberikan daun nanas, ataupun dengan pemberian obat cacing, misalnya albendazol. Jika ternak terserang scabies, pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan campuran oli, cuka, dan minyak goreng, sedangkan pencegahan dapat dilakukan dengan membersihkan kandang setiap hari, serta memandikan kambing secara rutin. Widyastuti, dkk., (2017) mendapati penggunaan asam jawa dimanfaatkan oleh peternak kambing di Kelompok Tani Simpay Tampomas untuk melakukan pertolongan pertama pada ternak yang terserang penyakit cacingan.

2.3 Fisiologi dan Performa Reproduksi Kambing Perah Betina

2.3.1 Fisiologi Reproduksi

     Umur pertama berahi setiap spesies berbeda-beda tergantung pada kondisi lingkungannya (Feradis, 2010). Mekanisme yang mengontrol timbulnya pubertas adalah kematangan hypothalamus dan kurang mampunya menghasilkan hormon gonadotropin, hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan LH yang diikuti oleh peningkatan progesteron. Faktor-faktor yang memengaruhi waktu terjadinya pubertas diantaranya genetik (breed), pakan atau kecepatan pertumbuhan, musim dan faktor sosial (Feradis, 2010). Ternak dengan bangsa yang lebih kecil umumnya mengalami berahi pertama yang lebih cepat dibandingkan dengan ternak dari bangsa yang lebih besar.
     Ovulasi pertama pada kambing betina terjadi pada saat umur lima sampai tujuh bulan (Feradis, 2010). Keterlambatan timbulnya berahi pertama pada ternak betina dapat disebabkan karena kadar gonadotropin yang rendah yang dihasilkan oleh kelenjar adenohypophysa, kurang responnya ovarium, atau karena kegagalan ovarium untuk menghasilkan estrogen yang cukup (Feradis, 2010). Terjadinya pubertas pada kambing betina dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan diantaranya perbedaan breed, nutrisi, dan saat kelahiran (Feradis, 2010). Menurut pendapat Sutama, dkk., (1999) menyatakan bahwa terjadinya pubertas lebih awal pada ternak dapat menguntungkan, karena dapat mengurangi masa tidak produktif dan tidak menguntungkan selama masa hidup ternak serta dapat menjadikan program seleksi efektif karena interval generasi yang berkurang.
     Kambing PE mencapai pubertas pada umur 10-12 bulan (Tomaszewska dkk., 1991 dalam Sutama, dkk., 1999), yang mana bobot badan rataannya 18,5 kg (Sutama, dkk., 1999). Umur pubertas kambing PE betina dicapai pada 8–12 bulan atau dengan bobot badan 18–22 kg dapat dikatakan sekitar 53–60 persen bobot badan dewasa (Sutama, 2009). Sarwono (2009) menjelaskan bahwa kambing betina mulai dewasa umur 6-8 bulan, kambing sudah dapat dikawinkan namun hal ini dihindari berkaitan dengan perkembangan alat reproduksi yang belum sempurna. Feradis (2010) menjelaskan bahwa ternak betina yang baru pertama kali berahi sebaiknya tidak langsung dikawinkan melainkan menunggu sampai tercapainya pertumbuhan yang memungkinkan untuk kebuntingan.
     Hasil penelitian Sutama, dkk., (1999) menunjukkan bahwa persentase kebuntingan pada kawin pertama dengan bobot badan sekitar 20 kg, relatif tinggi mencapai 67-73 persen. Kambing PE dewasa mencapai bobot badan sekitar 31,5 kg (Sutama, dkk., 1999).  Sarwono (2009) menyatakan bahwa masa berahi kambing sekitar 16-20 jam dan berulang setiap tiga minggu. Induk sudah dapat bunting kembali dalam waktu 3 bulan setelah beranak. Siklus berahi pada kambing betina berulang setiap 18–21 hari dengan rata-rata 21 hari dan lama berahi mencapai 3 hari (72 jam). Rata-rata lama berahi pada kambing adalah 36 jam, dalam rentang waktu 24 sampai 48 jam tergantung pada umur, bibit, musim dan ketersediaan kambing jantan (Davila, dkk., 2018; Karadev, 2015). Kepmentan (2013) menyebutkan bahwa lama kambing PE mengalami berahi dalam satu siklus adalah 18±6 jam. Siklus berahi pada kambing dipengaruhi oleh suhu lingkungan, semakin tinggi suhu lingkungan maka berahi pada kambing betina akan semakin lama. Kambing PE tergolong kambing tropis yang akan mengalami berahi sepanjang tahun, berbeda dengan kambing yang berasal dari daerah empat musim (Atabany, 2013). Ciri kambing betina yang mengalami berahi diantaranya kambing gelisah dan sering mengembik, vulva bengkak, sering kencing, menaiki kambing betina lain dan diam apabila dinaiki kambing betina lainnya (Atabany, 2013). Kambing PE mampu beranak paling tidak 3 kali dalam 2 tahun dengan jumlah anak yang dilahirkan 1-3 ekor (Feradis, 2010). Jumlah anak tiap kelahiran tergantung dari kemampuan betina, yakni banyaknya ovum yang masak dan jumlah telur yang dibuahi.
     Lama bunting pada ternak kambing biasanya mencapai 5 bulan atau 150 hari, tergantung pada bangsa kambing, jenis kelamin, dan jumlah anak yang dikandung induknya (Atabany, 2013). Mulyono (1999) dalam Kurniasih, dkk., (2013) menyebutkan bahwa lama bunting pada ternak kambing dan domba rata rata 148 hari atau antara 140-159 hari. Sementara itu, Kepmentan (2013) menyebutkan bahwa lama bunting pada kambing PE adalah 5 ± 0,3 bulan. Kurniasih, dkk., (2013) menyebutkan bahwa lama bunting ternak kambing berada pada rentang 150-180 hari (5-6 bulan). Fatet, dkk., (2011) dalam Karadev (2015) menambahkan bahwa rata-rata lama kebuntingan pada kambing berkisar 149 hari, bisa bertambah atau berkurang beberapa hari tergantung pada bibit.

2.3.2 Performa Reproduksi Kambing Perah Betina

1) Umur Pertama Kawin
     Umur pertama kawin merupakan umur ternak dara yang mengalami perkawinan setelah berahi. Umur kawin pertama adalah umur pertama kali ternak dikawinkan dihitung sejak ternak dilahirkan (Atabany, 2013). Sarwono (2009) menyarankan sebaiknya masa perkawinan pada ternak PE betina dilakukan pada umur rentang 15-18 bulan. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari perkawinan muda, sementara itu pemeliharaan kambing betina dipisahkan sejak usia 5 bulan. Hal tersebut dilakukan berkaitan dengan kesiapan alat reproduksi ternak betina untuk kebuntingan. Sutama dan Budiarsana (1997) dalam Kurniasih, dkk., (2013) menyebutkan bahwa menunda umur pertama kawin perlu dilakukan, agar ternak dapat mematangkan kondisi dan berat badan yang cukup untuk kebuntingan dan kinerja produksi dan produktivitas selanjutnya.
     Hasil penelitian Aprilinda, dkk., (2016) menunjukkan bahwa pada kambing PE betina di Kabupaten Lampung Tengah mengalami umur pertama kali kawin pada 13,46 bulan. Hasil penelitian Utomo (2013) menunjukkan bahwa umur pertama estrus kambing PE adalah 10 bulan di wilayah pantai, dan 9,54 bulan untuk kambing yang berada di wilayah pegunungan, sedangkan umur pertama kawin masing-masing 13,2 dan 12,5 bulan. Hasil penelitian Sukendar, dkk., (2005) menyatakan bahwa umur pertama kali ternak PE betina dikawinkan adalah 7,50 ± 2,50 bulan. Kurniasih, dkk., (2013) mendapati umur pertama kawin kambing betina di Kecamatan Cimalaka adalah 10,56 ± 1,55 bulan.
     Kambing PE betina yang mengalami berahi pertama kali sebaiknya tidak langsung dikawinkan, namun ditunda sampai memenuhi dewasa kelamin dan dewasa tubuh. Atabany (2013) menyebutkan bahwa kambing betina yang dapat dikawinkan umumnya berada pada bobot badan 30-35 kg saat umur mencapai 10-12 bulan. Umur kawin pertama dipengaruhi oleh pencapaian umur berahi pertama atau dewasa kelamin dan pencapaian bobot badan untuk siap dikawinkan (Atabany, 2013). Suranindyah (2009) dalam Utomo (2013) menyatakan bahwa kambing PE kelas besar mengalami pertama kawin memasuki umur 15 bulan, penundaan perkawinan ini dilakukan dalam rangka pemenuhan bobot badan dewasa tercapai. Variasi umur pertama kawin pada ternak betina, dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kualitas peternak terhadap pemahaman kambing estrus, ketersediaan pejantan yang diinginkan, kualitas manajemen khususnya manajemen reproduksi, kondisi pakan, kondisi calon induk/induk yang akan dikawinkan dan kesempatan peternak untuk mengawinkannya (Utomo, 2013).

2) Umur Pertama Beranak
     Umur pertama beranak merupakan umur pertama kali bunting ditambah dengan lama kebuntingan. Kambing PE beranak pertama pada umur 16–18 bulan, sehingga dalam 2 tahun dapat beranak 3 kali dengan masa produktif 5 tahun (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011 dalam Kurniasih, dkk., 2013). Kurniasih, dkk., (2013) mendapati umur pertama beranak pada kambing PE di Kecamatan Cimalaka yakni 15,44 ± 1,50 bulan. Pertama beranak akan dicapai pada umur 15–17 bulan apabila terjadi perkawinan dan kebuntingan pada pubertas pertama (Sutama, dkk., 1999). Kepmentan (2013) menyebutkan bahwa umur pertama kali beranak pada kambing PE adalah 18 ± 0,4 bulan.
     Atabany (2013) menjelaskan bahwa umur pertama beranak dipengaruhi oleh umur pertama kawin, jumlah atau banyaknya perkawinan yang menghasilkan kebuntingan (Service per Conception) serta lama kebuntingan. Atabany (2013) menambahkan bahwa untuk meningkatkan keberhasilan kebuntingan pada kambing dara sebaiknya dilakukan perkawinan secara alami dengan pejantan unggul serta dilakukan pencatatan. Umur beranak pertama berpengaruh terhadap produksi susu induk kambing perah. Atabany (2013) menjelaskan bahwa susu yang dihasilkan akan meningkat sejak induk beranak sampai tercapainya puncak produksi susu.

3) Masa Kosong/Days Open (DO)
     Days open atau masa kosong merupakan jarak antara beranak yang satu dengan kebuntingan berikutnya. Hal ini dipengaruhi oleh post-partus mating yang pada akhirnya akan berpengaruh pada jarak beranak. Masa kosong adalah jarak antara beranak dengan kawin yang menghasilkan kebuntingan. Masa kosong merupakan masa ternak sebelum bunting kembali setelah beranak. Berahi pertama kali setelah beranak pada kambing PE umumnya masih bersifat berahi diam (silent heat) (Atabany, 2013).
     Masa kosong pada kambing PE betina adalah 90-120 hari (3-4 bulan) (Atabany, 2013). Sementara itu Murdjito, dkk., (2011) menyatakan bahwa kambing PE betina mengalami masa kosong selama 2-3 bulan atau setelah induk menyapih anaknya. Estrus post partum merupakan kondisi ternak yang siap dikawinkan pasca beranak (Parasmawati, dkk., 2013). Kambing PE betina akan mengalami berahi 65-70 hari setelah beranak, untuk dikawinkan kembali sebaiknya ditunda sampai terjadi satu siklus estrus berikutnya (Atabany, 2013).
     Lama masang kosong ternak betina yang melebihi 120 hari penting untuk dicurigai memiliki kelainan. Atabany (2013) menjelaskan bahwa apabila masa kosong kambing PE betina melebihi 120 hari menunjukkan telah terjadi kelainan reproduksi. Bertambahnya masa kosong akan berpengaruh pada bertambahnya interval beranak atau jarak beranak hal ini menunjukkan pula penurunan produktivitas ternak betina.

4) Jarak Beranak /Kidding Interval (KI)
     Produktivitas induk merupakan salah satu indikator ekonomi yang penting dalam usaha ternak kambing yang mana tingkat produksi induk dipengaruhi oleh beragam faktor diantaranya paritas, litter size, kidding interval, daya hidup cempe dan pencapaian bobot sapih. Penampilan produktivitas induk dan indeks reproduksi merupakan suatu kriteria produktivitas yang penting (Sudewo, dkk., 2012). Kidding interval atau jarak beranak pada kambing betina merupakan jangka waktu atau selang waktu yang diperlukan untuk dua waktu beranak. Kidding interval terdiri atas masa kosong dan periode kebuntingan (Atabany, 2013). Ditambahkan Atabany (2013) bahwa periode perkawinan menentukan lamanya jarak beranak, hal tersebut juga dipengaruhi oleh lamanya timbul berahi.
     Kidding interval (jarak beranak) pada kambing PE sekitar 8-10 bulan, yang mana post-partum estrus terjadi 3–5 bulan setelah beranak (Sutama, 2009). Aprilinda, dkk., (2016) mendapati jarak beranak kambing PE di Lampung Tengah selama 7,69 bulan dengan post-partum mating (ppm) adalah 2,69 bulan. Kurniasih, dkk., (2013) dalam penelitiaannya mendapati jarak beranak selama 7,75 ± 0,58 bulan. Menurut pendapat Atabany (2013) kambing PE betina disarankan memiliki jarak beranak 8 bulan sehingga dalam waktu dua tahun dapat mengalami tiga kali beranak. Hasil penelitian Utomo (2013) menunjukkan bahwa jarak beranak pada kambing yang berada di pantai dan pegunungan masing-masing berada pada 9,3 bulan dan 9,5 bulan. Beberapa faktor yang mempengaruhi jarak kelahiran pada ternak diantaranya jarak munculnya berahi pertama dan terjadinya kebuntingan, kegagalan perkawinan dan kematian embrio (Parasmawati, dkk., 2013).


 DAFTAR PUSTAKA
Aka, R., I Gede S., dan N. Ngadiyono. 2008. Kinerja Induk Kambing Peranakan Etawah Pada Pola Pemeliharaan Sistem Kandang Kelompok dan Kandang Individu di Kecamatan Turi Kabupaten Sleman. Buletin Peternakan Vol 32 (3) : 191 -201

Ako A. 2013. Ilmu Ternak Perah Daerah Tropis. IPB Press. Bogor

Ali, U., Sumartono, dan N. Humaidah. 2012. Pembinaan Masyarakat Tani Peternak Kambing dan Domba di Desa Sumbersekar Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Dedikasi Vol 9 : 60-66
Anggriyani, E., F.T. Haryadi, dan Suharjono. 2012. Preferensi Sumber Informasi Inovasi Pengelolaan Kotoran Ternak Menjadi Kompos pada Kelompok Peternak Sapi Potong di Kabupaten Bantul. Sains Peternakan Vol 10 (2) : 93-99

Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Aprilinda, S., Sulastri, dan S. Suharyati. 2016. Status Reproduksi dan Estimasi Output Bangsa-Bangsa Kambing di Desa Karang Endah Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol 4 (1) : 55 - 62.

Assan N. 2014. Gender Disparities In Livestock Production And Their Implication For Livestock Productivity In Africa. Scientific Journal of Animal Science 3(5):126-138

Atabany, A. 2001. Studi Kasus Produktivitas Kambing PE Dan Kambing Saanen Pada Peternakan Kambing Perah Barokah Dan PT. Taurus Dairy Farm. Tesis. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

________. 2013. Panduan Sukses Beternak Kambing Peranakan Etawah. Penerbit IPB Press. Bogor

Batubara, A., M. Doloksaribu dan B. Tiesnamurti. 2006. Potensi Keragaman Sumber Daya Genetik Kambing Lokal Indonesia. Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional.

Davila, F.S., A.S.B Gonzalez, dan H.B. Barragan. 2018. Reproduction In Goats. https://www.intechopen.com (24 Juni 2019 pukul 11:00 WIB)

Devendra, C. dan M. Burn. 1994. Produksi Kambing Perah di Daerah Tropis. Terjemahan: I.D.K Harya Putra. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung.

__________. 2002. Crop–animal systems in Asia: future perspectives. Agric. Syst. 71

ESGPIP (Ethiopia Sheep and Goat Productivity Improvement Program). 2009. Shelter and Housing for Sheep and Goats. Technical Bulletin Vol 7 (31-32)

FAO-IDF : Food and Agriculture Organization of the United Nations- International Dairy Federation Food. 2011. Guide To Good Dairy Farming Practice. Rome (IT): FAO-IDF.

Fauziyah, D., R. Nurmalina, dan Burhanuddin. 2015. Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak Terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung. Jurnal Agribisnis Indonesia Vol (3) 2 : 83-96

Feradis. 2010. Reproduksi Ternak. Penerbit Alfabeta. Bandung

Gimenez, D., dan S. Rodning. 2007. Reproductive Management of Sheep and Goats. Albama Cooperative Extension System. Albama A&M and Auburn University.

Hill, CIM. 2009. Gender in Agriculture. International Fund for Agricultural Development. Wahington DC (US)

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapang. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta

Indrayani, I dan Andri. 2018. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong di Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Jurnal Peternakan Indonesia. Vol 20 (3) : 151-159

Kaleka, N dan N.K. Haryadi,. 2013. Kambing Perah. Arcita. Solo

Karadev, M., 2015. Pregnancy diagnosis techniques in goats – a review. Bulg. J. Vet. Med., Vol 18 (3) : 183–193.

Kepmentan (Keputusan Menteri Pertanian). 2013. Nomor 695/Kpts/PD.410/2/2013 Tentang Penetapan Rumpun Kambing Peranakan Etawah. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.

Kurniasih, N.N., A.M. Fuah, dan R. Priyanto. 2013. Karakteristik Reproduksi dan Perkembangan Populasi Kambing Peranakan Etawah di Lahan Pasca Galian Pasir. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Peternaakan. Vol 01 (03) : 132-137

Kusumastuti, TA. 2012. Kelayakan Usaha Ternak Kambing Menurut Sistem Pemeliharaan, Bangsa, dan Elevasi di Yogyakarta. Sains Peternakan Vol 10 (2) : 75-84

Lolitkambing (Loka Penelitian Kambing Potong). 2019. Isi Pakan. http://lolitkambing.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/isi_pakan.pdf (diakses pada 13 Juli 2019 pukul 15:24 WIB)

Makin, M dan D. Suharwanto. 2012. Performa Sifat-Sifat Produksi Susu dan Reproduksi Sapi Perah Fries Holland Di Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ternak, Vol. 12 ( 2 )

Monintja, M. J., Hendrik, Pujiastuti, dan L. R Ngangi. 2016. Pengamatan Potensi Reproduksi Kambing Betina Yang Di Pelihara Secara Tradisional Di Daerah Pesisir Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa. Jurnal Zootek (“Zootek” Journal ) 36 (2) : 466 – 475

Mulyawati, IM, D. Mardiningsih, dan S. Sartmoko. 2016. Pengaruh Umur, Pendidikan, Pengalaman Dan Jumlah Ternak Peternak Kambing

Terhadap Perilaku Sapta Usaha Beternak Kambing Di Desa Wonosari Kecamatan Patebon. Agromedia Vol 34 (1) : 85-90

Murdjito, G., I.G. S Budisatria, Panjono, N. Ngadiyono, dan E. Baliarti. 2011. Kinerja Kambing Bligon yang Dipelihara Peternak di Desa Giri Sekar, Panggang, Gunung Kidul. Buletin Peternakan Vol. 35(2): 86 – 5

Parasmawati, F., Suyadi, dan S. Wahyuningsih. 2013. Performan Reproduksi Pada Persilangan Kambing Boer dan Peranakan Etawah (PE). Jurnal Ilmu - Ilmu Peternakan 23 (1) : 11 – 17

Paudel, L.N., U. t. Meulen, C. Wollny. H. Dahal, dan M Gauly. 2009. Gender Aspects in Livestock Farming : Paertinent Issues For Sustainable Livestock Development in Neval. Livestock Research for Rural Development Vol 21 (3) : 1-9.

Penda, T.S. 2012. Human Capital Development for Agricultural Business in Nigeria. International Food and Agribusiness Management Review. Vol 15 Special Issue.

Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). 2006. Nomor 57/Permentan/OT. 140/10/2006 Tentang Pedoman Pembibitan Kambing dan Domba yang Baik (Good Breeding Practice). Kementerian Pertanian. Jakarta

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor. 2014. 102/Permentan/Ot.140/7/2014 Tentang Pedoman Pembibitan Kambing Dan Domba Yang Baik. Kementerian Pertanian. Jakarta

Prabowo, A. 2010. Petunjuk Teknis Budidaya Ternak Kambing (Materi Pelatihan Agribisnis Bagi KMPH). BPTP Sumatera Selatan.

Priyanto D, B. Setiadi, M. Martawidjaja dan D. Yulistiani. 2001. Peranan Usaha Ternak Kambing Lokal Sebagai Penunjang Perekonomian Petani Di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak. Bogor

Reswati, J dan E. Nurdin. 2014. Performa Reproduksi Sapi Perah di Sumatera Barat. Jurnal Peternakan Indonesia, Vol. 16 (3)

Rusdiana, S., dan R. Hutasoit. 2014. Peningkatan Usaha Ternak Kambing Di Kelompok Tani Sumber Sari Dalam Analisis Ekonomi Pendapatan. SEPA : 11 (1) : 151 – 162

Salasa, M. 2010. Mengenal Kambing. www.lembahgogoniti.com/ (diakses pada 13 Juni 2019 pukul 19.57 WIB)

Sarwono, B. 2009. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta

Sodiq, A. 2010. Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah. Agrivet Vol 10 (2) : 1-8

Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian : Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo. Jakarta.

Sudewo, A. T. A., S.A. Santosa, dan A. Susanto. 2012. Produktivitas Kambing Peranakan Etawah Berdasarkan Litter Size, Tipe Kelahiran Dan Mortalitas Di Village Breeding Centre Kabupaten Banyumas. Prosiding Seminar Nasional ”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan II”.

Sugiarto, M., dan S. Nur. 2013. Pengembangan Potensi Sumberdaya Peternak Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Peternakan Kambing Skala Mikro di Kabupaten Banyumas. 2013. www.jp.feb.unsoed.ac.id/index.php/sca-1/article/viewFile/262/267 (diakses pada 15 Mei 2019 pukul 14:23 WIB)

Sukendar, A., M. Duldjaman, dan A. Sukmawati. 2005. Potensi Reproduksi dan Distribusi dalam Pengembangan Kambing PE di Desa Hegarmanah Kecamatan Cicantayan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Media Peternakan. Vol 28 (1) : 1 – 7

Susilo, A., D.A Suhardi, dan S. Mikdar. 2018. Perbaikan Reproduksi Kambing Lokal Melalui Penerapan Teknologi Amoniasi dan Flushing Pakan. Prosiding PKM-CSR Vol 1 : 286-295

Sutama, I.K., I.G.M. Budiarsana, I.W. Mathius, dan E. Juarini. 1999. Pertumbuhan dan Perkembangan Seksual Anak Kambing Peranakan Etawah Dari Induk dengan Tingkat Produksi Susu yang Berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol 4 (2) : 95 – 100

________. 2007. Petunjuk Teknis Beternak Kambing Perah. Balai Penelitian Ternak. Bogor

________. 2009. Performa Reproduksi dan Produksi Kambing Peranakan Etawah Betina di Indonesia. Wartazoa Vol 19 (1) : 1 – 6

Tambing, SN., M. Gazali, dan B. Purwantara. 2001. Pemberdayaan Teknologi Inseminasi Buatan Pada Ternak Kambing. Wartazoa. 11(1):1-6.

Tjiptoherijanto, Prijono. 2001. Proyeksi Penduduk, Angkatan Kerja, Tenaga Kerja, dan Peran Serikat Pekerja dalam Peningkatan Kesejahteraan. https://www.bappenas.go.id/ (Diakses pada 23 Juni 2019 pukul 20:40 WIB)

Utomo, S. 2013. Pengaruh Perbedaan Ketinggian Tempat Terhadap Capaian Hasil Inseminasi Buatan pada Kambing Peranakan Etawah. Sains Peternakan Vol 11 (1) : 34-42

Waris, N., Badriyah, dan D. Wahyuning. 2015. Pengaruh Tingkat Pendidikan, Usia, dan Lama Beternak Terhadap Pengetahuan Manajemen Reproduksi Ternak Sapi Potong di Desa Kedungpring Kecamatan Balongpanggang Kabupaten Gresik. Jurnal Ternak Vol 06 (01) : 30 – 33

Wasiati, H dan E. Faizal. 2018. Peternakan Kambing Peranakan Etawa Di Kabupaten Bantul. Jurnal Abdimas Unmer Malang Vol 3 (1) : 8-14

Widnyana, I.G., N.N Suryani, dan I.K. M. Budiasa. 2014. Pengaruh Komposisi Hijauan Dengan Level Konsentrat yang Berbeda pada Ransum Terhadap Komposisi Tubuh dan Retensi Nutrien Kambing Peranakan Etawah (PE). Jurnal Peternakan Tropika Vol 2 (3) : 375-388

Widyastuti, R., K. Winangun., D.W. Wira., M. Ghozali., M. Rizky. A.A.S, Syamsunarno. 2017. Tingkat Pengetahuan dan Respon Peternak Kambing Perah Terhadap Penyakit Hewan (Studi Kasus: Kelompok Tani Simpay Tampomas Cimalaka, Sumedang). Dharmakarya : Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat. Vol 6 (2) : 89-92

Winarso, B. 2014. Dinamika Ketenagakerjaan pada Wilayah Pedesaan Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol 14(1) : 1–14

Yunita, D., R. Widyastuti, M. Rizky A.A.S., S.D. Rasad, dan D. R. Indika. 2017. Pembagian Peran dan Pengambilan Keputusan Dalam Rumah Tangga Peternak Kambing Perah di Desa Cilengkrang Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang. Jurnal Ilmu Ternak, Vol 17 (1) : 21 – 26

Komentar