PENGAMATAN KONDISI PETERNAK DI KAMPUNG CIKONENG
Gambaran Umum
Masyarakat
Cikoneng
merupakan salah satu kampung yang berada di wilayah desa Cibiru Wetan kecamatan
Cileunyi. Cibiru Wetan adalah salah satu
desa yang tergabung dalam Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa
Barat. Sedangkan, Desa Cibiru menjadi kecamatan yang termasuk dalam Kota
Bandung. Secara geografis desa ini berada di kawasan Gunung Manglayang, dengan
batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan Gunung Manglayang itu sendiri;
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cibiru Kulon; sebelah barat berbatasan
dengan Desa Cibiru Wetan dan Desa Desa Cilengkrang; dan sebelah timur
berbatasan dengan Desa Cimekar. Desa ini tidak hanya berada di kaki tapi juga
di lereng gunung, sehingga wilayahnya tidak hanya berupa dataran rendah semata,
tetapi juga dataran tinggi (berbukit-bukit) yang mendominasinya.Kampung
Cikoneng I, II, dan III adalah pemekaran dari sebuah kampung yang bernama
“Cikoneng” pada tahun 1985. Asal mula nama kampung ini sangat erat kaitannya
dengan sesuatu yang terjadi di masa lalu. Konon, ketika para karuhun (pendiri
kampung) mengadakan selamatan atas keberhasilannya membuka hutan dan mendirikan
perumahan, maka gula yang dipakai untuk minuman adalah gula aren, yaitu gula
yang terbuat dari pohon aren. Ternyata warna minuman berubah menjadi kuning.
Oleh karena warna air minum berubah menjadi kuning maka kampung tersebut
dinamai “Cikoneng”. “Ci” berasal dari kata “cai” (bahasa Sunda) yang artinya
“air” (bahasa Indonesia), sedangkan “koneng” (bahasa Sunda) yang artinya “kuning”
(bahasa Indonesia). Jadi, artinya “air yang berwarna kuning”.
Kampung Cikoneng
I saat ini terdiri dari empat rukun tetangga yang terkumpul sebanyak lebih
kurang 300 kepala keluarga (KK). Profesi sebagian besar masyarakat adalah
peternak sapi perah yang skala kepemilikan nya bermacam-macam. Jumlah peternak sapi perah yang ada di
wilayah kampung Cikoneng I berjumlah 150 KK yang dapat dikatakan 50 persen
masyarakatnya berprofesi sebagai peternak sapi perah. Selain sebagai peternak
sapi perah sebagian kecil masyarakat bekerja sebagai petani lading, dan ada
juga yang berprofesi sebagai pengrajin panci.
Jumlah
sapi dan Jumlah Limbah
Kampung Cikoneng memiliki jumlah
peternak sapi perah lebih kurang 150 KK dimana salah satu kelompok peternak
beranggota sebanyak 55 orang anggota dengan jumlah sapi yang dipelihara
sebanyak 300 ekor. Dari satu kelompok kampung Cikoneng I dapat menghasilkan
susu sebanyak 2500 liter/hari. Sementara itu, untuk limbah yang dihasilkan dari
peternakan di kampung Cikoneng I, dalam satu kelompok peternak Cikoneng I dapat
diasumsikan berjumlah 7500 kg/hari atau setara dengan 7,5 ton/hari jika
diasumsikan bahwa satu ekor sapi perah dewasa yang laktasi dengan bobot badan
400-450 kg menghasilkan 25 kg manure.
Sebagaimana pendapat Riliandi (2010) yang menyatakan bahwa sapi perah dewasa
menghasilkan 25 kg feses perhari. Senada dengan
pendapat Wiryosoeharto (1985) dan Soedono (1990) dalam Solihat (2001)
bahwa sapi laktasi dengan berat 450 kg menghasilkan kurang lebih 25 kg urin dan
feses perhari.
Kondisi
Peternakan dan Pengolahan Limbah Peternakan Saat Ini
Masyarakat kampung Cikoneng I
sebagian besar berpofesi sebagai peternak sapi perah namun ada beberapa orang
juga mengembangkan ternak ruminansia kecil seperti domba. Daerah Cikoneng I
yang berada di wilayah lereng gunung Manglayang sangat mendukung potensi
pengembangan sapi perah yang baik.
Peternak di kampung Cikoneng I membentuk suatu kelompok peternak yang
bernama Kelompok Peternak Sapi Perah Manglayang. Dalam satu hari, satu kelompok
peternak dapat mengumpulkan susu ke tempat pengumpulan susu (TPS) sebanyak
lebih kurang 3000 liter. Namun dari segi peralatan yang digunakan masyarakat
masih menggunakan ember sebagai tempat penapungan susu dari kandang
masing-masing. Bahkan untuk tempat pengumpulan susu sendiri masih menggunakan
tong biru dan jerigen yang berbahan plastik sementara itu, menurut pendapat
Djaja (2009) bahwa peralatan yang dipergunakan untuk memerah dan penampungan
susu harus terbuat dari bahan-bahan yang tidak mudah bereaksi, kuat, tahan
lama, dan mudah dibersihkan . Peralatan tersebut terbuat dari bahan antikarat
atau stainless, aluminium maupun bahan lainnya, dan jangan sekalikali menggunakan
bahan terbuat dari tembaga atau besi .
Kondisi usaha peternak di kampung
Cikoneng I termasuk skala usaha menengah dengan populasi sapi perah paling banyak sampai pada
60 ekor, namun beberapa peternak masih termasuk dalam skala usaha kecil dengan
kepemilikan kurang dari sepuluh ekor. Guswar, W (1997) dalam Rohmani (2000)
merinci usaha peternaka sapi perah mulai dari skala kecil 5-10 ekor; menengah
21-200 ekor; dan besar lebih dari 200 ekor. Menurut Djarsanto (1992) usaha
peternakan rakyat mempunyai ciri antara lain skala usaha kecil atau rumah
tangga dengan tipologi sebagai cabang usaha, teknologi sederahana,
produktivitas rendah, mutu produk kurang terjamin, belum sepenuhnya
berorientasi pada pasar, dan belum peka terhadap berbagai perubahan.
Kondisi pengolahan dan penanganan
limbah saat ini telah dilakukan pengolahan menjadi biodigester serta kompos.
Biodigester yang diterapkan menggunaan instalasi permanen yang di cor dan
ditanam dipermukaan tanah. Pemasukkan feses masih menggunakan metode manual
yakni hanya dilakukan menggunakan ember dan tenaga manusia karena posisi
biodigester yang cukup jauh dari kandang sapi yakni lebih kurang tiga meter.
Sementara dalam pengolahan limbah kotoran menjadi kompos hanya beberapa orang
peternak yang melakukan pengolahan tersebut. Pengolahan kompos dan pemasarannya
masih menggunakan metode manual tanpa dilakukan pengolahan melalui perhitungan
bahan utama (feses) dan limbah pertanian salah satunya jerami padi. Pada
dasarnya pengolahan manure menjadi kompos dilakukan dengan penambahan jerami
padi, namun proses pencampurannya tidak menggunakan perhitungan yang akurat
serta proses penguraian bahan organik dilakukan secara alami. Artinya bahwa
kotoran ternak dibuang begitu saja di lahan terbuka (di dekat digester)
kemudian ditambahkan jerami padi sisa pakan ternak dan didiamkan begitu saja,
baru kemudian dimasukkan ke dalam karung dan dipasarkan.
Saat ini telah
terpasang sebanyak 15 titik biodigester, yang mana salah satu instalasi
biodigester berasal dari satu orang peternak yang memiliki jumlah sapi 15 ekor.
Dari satu instalasi biodigester dapat disalurkan untuk tiga rumah warga. Selain
itu, pupu kompos yang telah dibuat dipasarkan kepada piha perhutani gunung
Manglayang untuk pemupukan hutan. Harga dari satu karung pupuk kompos hanya
sebesar Rp. 1000/karung sementara berat satu karung bervariasi dari 10 – 25 kg.
Permasalahan
dalam Pengolahan Limbah dan Masalah yang Timbul dari Pengolahan yang belum
dilakukan
Pengolahan limbah merupakan salah
satu upaya dalam mewujudkan suatu usaha peternakan yang zero waste dan memenuhi produksi bersih. Pada peternakan di kampung
Cikoneng I telah dilakukan pengolahan limbah menjadi biodigester dan kompos.
Namun, belum semua peternak melakukan pengolahan tersebut. Hanya lebih kurang
20 persen peternak yang melakukan pengolahan limbah. Pengolahan limbah di Kampung Cikoneng didukung
oleh salah satu lembaga penyuluhan bernama Biru. Dari data yang diperoleh,
sekitar lebih kurang 80 persen membuang limbah kotoran lansung ke kebun,
selokan, bahkan langsung ke sungai. Hal tersebut merupakan salah satu pekerjaan
rumah bagi tim penyuluh daerah setempat, mahasiswa, dan segenap warga yang
lebih tahu untuk melakukan pencerdasan dan penyadaran bagi masyarakat Cikoneng
I.
Permasalahan yang ditimbulkan dengan
belum adanya pengolahan limbah dengan baik di kebanyakan peternak
diantaranyaadalah pencemaran air dan sungai dan bahkan ketika musim hujan tiba
limbah peternakan mencemari udara dan pemukiman masyarakat yang dibawa nya.
Sehingga perlu adanya pengolahan lebih lanjut bagi para peternak yang telah
melakukan pengolahan limbah serta dilakukan pengolahan limbah secara terpadu
bagi para peternak di Kampung Cikoneng I.
Solusi
bagi Permasalahan Pengolahan Limbah
Solusi bagi permasalahan tersebut di
atas diantaranya adalah dengan diterapkannya sistem pengolahan limbah secara
terpadu. Selain itu, dibuatnya rumah kompos merupakan salah satu upaya dalam
menanggulangi pencemaran limbah di hilir. Penerapan metode ini bisa dilakukan
secara bertahap dengan dibantu oleh peternak itu sendiri. Tahapan penerapan
metode pengolahan limbah secara terpadu dapat dimulai dengan penyuluhan pada
para peternak. Penyuluhan dapat berisi pentingnya pengolahan limbah dan dampak
yang akan ditimbulkan jika tidak dilakukan pengolahan limbah sapi perah.
Selanjutnya dilakukan penyuluhan mengenai pengolahan limbah secara terpadu
sampai kepada proses pengemasan produk limbah peternakan dan akhirnya dapat
dipasarkan dan memiliki daya jual yang lebih tinggi.
Harapan
untuk Peternakan yang Ideal
Peternakan yang ideal addalah
peternakan yang sudah menerapkan manajemen dari hulu hingga hilir produksi
suatu usaha peternakan. Pada
pelaksanaannya peternakan sapi perah di Cikoneng I merupakan salah satu sentra
peternakan yang memiliki potensi baik dari segi produksi maupun pemasaran
produk peternakan langsung. Salah satunya adalah pemasaran produk olahan
peternakan dapat dilakukan di tempat dan di rumah warga yang berada di pinggir
jalan, hal ini dikarenakan Cikoneng merupakan wilayah yang dilalui wisatawan
saat mengunjungi wisata alam batu kuda. Oleh karena itu, Cioneng sendiri
menyimpan potensi pemasaran yang baik bagi usaha olahan produk susu.
Dari segi pengolahan limbah tidak
menutup kemungkinan dapat membantu dalam peningkatan ekonomi masyarakat. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pengolahan limbah secara terpadu
sehingga semua produk yang dihasilkan dapat dikemas dan dipasarkan secara
langsung. Pengemasan yang dilakukan diusahakan menggunakan kemasan yang eye catching sehingga dapat menarik
perhatian konsumen sehingga dapat menambah nilai jual. Penjualan limbah yang
telah diolah selain diapsarkan di wilayah Cikoneng, tetapi juga dapat dilakukan
pemasaran ke sebrang pulau dengan bantuan salah seorang warga yang sering
melakukan penjualan barang ke pulau sebrang.
Selain dilakukan produksi produk
hasil ternak (susu dan limbah) dilakukan pula manajemen usaha yang baik, salah
satunya dari sisi sanitasi kandang, kesehatan ternak, dan manajemen pakan.
Sanitasi kandang yang dilakukan peternak sudah memenuhi standar pada umumnya
yakni dilakukan pemberssihan sapi dan kandang sebelum dilakukan pemerahan.
Selanjutnya dari segi kesehatan ternak diupayakan dilakukan pemeriksaan
kesehatan ternak secara berkala terutama pemberian obat cacing pada pedet dan
dara sebelum laktasi. Karena saat ini, keberdaan tenaga kesehatan dan
inseminator di wilayah Cikoneng baru bersedia di lapangan ketika dihubungi oleh
peternak untuk dimintai bantuan. Selain itu, diperlukan pula manajemen pakan
yang baik yang dapat memenuhi kebutuhan ternak. Selain hijauan , ternak sapi
perah juga memerlukan pakan tambahan konsentrat. Saat ini pembuatan konsentrat
masih dilakukan secara mandiri oleh salah satu anggota kelompok dan merupakan
ketua karang taruna di Cikoneng I, yang mana saat ini belum dapat mencukupi
kebutuhan seluruh peternak yang ada di Cikoneng I.
Produksi
Bersih
Mostert (1997) menyebutkan bahwa
produksi bersih (Cleaner Production)
adalah segala upaya yang dapat mengurangi jumlah bahan berbahaya, polutan atau
kontaminan yang terbuang melalui saluran pembuangan limbah atau terlepas ke
lingkungan (termasuk emisi-emisi yang cepat menguap di udara sebelum di daur
ulang, diolah atau dibuang. Sementara Bapedal (1998) menyatakan bahwa produksi
bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan
terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan
praproduk, sehingga mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan.
Penerapan produksi bersih pada
sektor peternakan di Indonesia relative belum banyak dilakukan, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh karena limbah peternakan berupa limbah organic yang
relative mudah terurai. Walaupun demikian limbah peternakan mempunyai potensi
untuk mencemari lingkungan terlebih lagi jika usaha tersebut terisolasi pada
suatu kawasan tertentu. Upaya dalam
rangka menerapkan produksi bersih diantarnya hasil penelitian pada usaha
peternakan babi di Australia, menyebutkan bahwa dengan penerapan produksi
bersih yaitu melalui perbaikan sistem pengolahan limbah, dapat menghemat
pemakaian air sebesar 70% dari total air yang digunakan, memperbaiki kondisi
ternak dan sanitasi serta dapat mengurangi bau (Charles, 1995). Di Swedia,
penerapan produksi bersih dilakukan pada perusahaan susu melalui perbaikan daur
hidup produk, mampu meminimalisasi 10 persen emisi N2O dan 15 persen
emisi CO2 (Christel, 1999).
Upaya lain dalam rangka penerapan produksi bersih dalam sektor
peternakan yang sudah dilakukan adalah penambahan probiotik starbio dalampakan
ternak (sapi, babi, ayam, dll)
Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, diketahui bahwa para peternak di kampung Cikoneng I dalam prinsip penanganan
dan pengolahan limbah belum mencapai produksi bersih. Dilihan dari kondisi
peternakan yang masih banyak membuang limbah ke kebun dan bahkan ke selokan
begitu saja tanpa pengolahan terlebih dahulu. Ditambah lagi kondisi
perkampungan yang berada di lokasi lebih tinggi dari pada lokasi aliran sungai
menyebabkan selokan yang dibuat bermuara pada sungai, sehingga sangat
berpotensi mencemari air sungai. Selain itu dalam pemanfaatan limbah sebagai
biogas diketahui bahwa instalasi digester tidak diberi penutup sehingga
memungkinkan pengeluaran polusi melalui udara bagi senyawa-senyawa volatile yang berbahaya dan merupakan
gas rumah kaca. Berdasarkan pendapat Hartmann dan Ahring (2005) bahwa keuntungan
pencernaan anaerobik sangat tergantung pada peningkatan proses yang lebih
tinggi hasil biogas per m' biomasa dan peningkatan derajat perombakan . Lebih
lanjut keuntungan juga dapat ditingkatkan dengan konversi efluen proses menjadi
produk yang berharga.
DAFTAR
PUSTAKA
Bapeddal.
1998.Buku Panduan Pengendalian Dampak
Lingkungan. Jakarta
Charles.
1995. National Cleaner Production Database Case Study : Barrybank Farm. Charles
I.F.E. Pty Ltd. Australia.
Christel.
1999. Life Cycle Assement of Milk Production-A Comparison of Conventional and
Organic Farming. Journal of Cleaner Production Vol. 8 Tahun 2000
Djaja,
Willyan., Rasali H.M., dan Haryono. 2009. BAB
II Aspek Manajemen Usaha Sapi Perah. Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran. Bandung
Djarsanto.
1992. Pengembangan Agribisnis Peternakan Memasuki PJPT II. Makalah Seminar
Fapet. Instirut Pertanian Bogor. Bogor
Hartmann,
H,. dan B.K. Ahring. 2005. The Future
Biogas Productions. http://www.risoe.dk/rispubl/SYS/syspdf/energconf05/session6_hartmann.pdf.
Mostert,
C. 1997. Cleaner Technology – A Business Opportunity. Presented in The Seminar
of Social Inovation for Cleaner Products and Technologies 16-18 October.
Bandung.
Riliandi.
D.K. 2010. Studi Pemanfaatan Kotorran
Sapi Untuk Genset Listrik Biogas, Penerangan, Dan Memasaka Menuju Desa
Nongojajar (Kecamatan Tutur) Mandiri Energi. http://digilib.its.ac.id
Rohmani,
D., 2000. Analisis Usaha Padi Organik (Suatu Studi Perbandingan Kasus : Desa
Segaran, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Skripsi
Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertannian
Bogor. Bogor
Solihat,
S. 2001. Penanganan Limbah Ternak Sapi
Perah Di Tiga Lokasi Di Daerah Bogor. Jurusan Iilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor.Bogor
Komentar
Posting Komentar