Wanita Sebagai Seorang Ibu


Wanita Sebagai Seorang Ibu

(Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam buku Fiqih Wanita hlm. 27 - 30)

 

 

Hubungan pertama seorang manusia dengan seorang wanita adalah dengan ibunya, yang menderita kesakitan saat hamil, saat melahirkan, merawat dan membesarkan anaknya.

Tak pernah ada dalam sejarah sebuah agama atau sebuah sistem yang menghormati Wanita sebagai ibu dan mengangkat harkatnya sebaik islam.  Islam sangat menghormati Wanita dan perintah ini turun langsung setelah turunnya perintah untuk menyembah dan percaya pada ke-Esa-an Allah.  Allah telah membuat kebaikan terhormat bagi seorang ibu dan Dia meng-usahakan hak ibu  daripada hak ayah karena ibu telah memikul penderitaan dalam mengandung, melahirkan, merawat dan membesarkan anak-anaknya.

Hal ini tersurat dalam Al-Qur’an dalam beberapa surat, untuk menanamkan gagasan ini pada pikiran dan hati anak-anak seperti pada ayat ini : “ Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu “ (QS. Luqman : 14)

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah (pula).  Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan, sehingga apabila dia telah telah dewasa dan umurnya sampai 40 tahun ia berdoa, Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridhai, berikan kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.  Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (QS. Al-Ahqaaf : 15).

Seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw lalu berkata : “ Wahai Rasulullah! Siapakah orang yang paling berhak untuk aku hormati?” Beliau menjawab “Ibumu” lelaki itu kembali bertanya “Kemudian siapa?” Nabi Saw menjawab “Ibumu” Lelaki itu terus bertanya, “Kemudian siapa?” Nabi Saw menjawab “Ibumu.” Sekali lagi lelaki itu bertanya “Kemudian siapa?” Nabi Saw menjawab, “Kemudian ayahmu.”

Al- Bazzar meriwayatkan bahwa ada seorang pria sedang mengelilingi (thawaf) Kabah sambil menggendong ibunya.  Rasulullah bertanya padanya, “Sudahkah kamu membalas kebaikan-kebaikannya?” Lelaki itu menjawab “Belum, bahkan belum setara dengan salah satu kesakitan-kesakitannya (yakni salah satu kesakitan kerja kerasnya, kesakitan melahirkan dan seterusnya).

Berbuat baiklah kepadanya, artinya perlakukan dia dengan baik, hormati dia, rendahkan dirimu di depan dia, patuhi dia tanpa mengingkari Allah, buatlah dia puas dan senangkan dia dalam segala suasana, walaupun dalam sebuah perang suci, jika hal itu pilihan, si anak lelaki harus mendapatkan restunya, untuk berbuat baik padanya dalam sebuah jihad.

Seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw lalu berkata , “ Ya Rasulullah! Saya ingin ikut berperang dan saya meminta nasihat Anda.” Beliau bertanya, “Apakah kamu masih punya seorang ibu?” Pria itu menjawab “Ya” Beliau berkata, “ Jangan tinggalkan dia karena surga berada di bawah telapak kakinya.”

Beberapa ajaran agama sebelum Islam mengabaikan hubungan ibu, membuatnya tak berarti. Dengan datangnya Islam, yang menganjurkan untuk merawat paman-paman dan bibi-bibi, baik dari pihak ayah maupun ibu.  Seorang pria mendekati Rasulullah Saw dan berkata, “Saya telah melakukan sebuah dosa, bisakah saya menebusnya?” Beliau bertanya, “Apakah kamu masih mempunyai seorang ibu?” Pria itu menjawab, ‘Tidak’ Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu punya seorang bibi dari pihak ibu?” Pria itu menjawab ‘Ya’ Rasulullah Saw berkata. “Berbuat baiklah kepadanya”.

Menakjubkan! Islam menyuruh kita untuk berbuat baik pada seorang ibu walaupun dia kafir.  Asmaa binti Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah Saw tentang hubungannya dengan ibunya yang kafir yang datang kepadanya.  Rasulullah menjawab, “Berhubungan baiklah dengan ibumu.”

Sebuah tanda bahwa Islam memperlakukan masalah keibuan, untuk hak dan perasaan ibu bahwa seorang ibu yang bercerai memiliki hak yang lebih besar dan lebih pantas untuk merawat anak-anaknya daripada ayah.

Abdullah Ibnu Amr Ibu Al-As meriwayatkan bahwa seorang Wanita berkata, “Ya Rasulullah, anakku ini berada dalam kandunganku sebagai tempat tinggalnya, air susuku diminumnya, aku selalu memangkunya. Ayahnya telah mengambilnya dariku.” Rasulullah Saw berkata, “Kamu lebih berhak jika kamu tidak menikah lagi.

Imam al-Khaththabi menulis dalam “M’alem as-Sunnah” kata “Rahim” merupakan sebuah nama tempat yang berisi sesuatu.  Hal ini berarti bahwa sang ibu lebih pantas, karena dia dan se-orang pria atau ayah bersama-sama saat membuat anak itu, kemudian si ibu memutuskan merawatnya sendirian karena suatu hal.  Oleh karena itu, ibu lebih berhak untuk diutamakan saat perselisihan tentang anak.

Dari Ibnu Abbas berkata, “Umar Ibnu al-Khaththab menceraikan istrinya dari kaum Anshar, Ummi Hasim. Dia melihatnya membawa anak mereka (Hasim) di Mahsar (sebuah pasar anatara Quba dan Madinah).  Anaknya disapih dan bisa berjalan.  Umar mengulurkan tangannya untuk mengambil anak itu dari ibunya dan berselisih tentang anak itu hingga anak itu menangis karena kesakitan.”

Umar berkata, “Aku lebih berhak atas anakku daripada kamu!” lalu mereka mengadu kepada Abu Bakar r.a. yang mmeutuskan bahwa ibunya yang harus merawat anak itu, Abu Bakar r.a. berkata, “Wangi (wangi tubuh), kasur dan pangkuan dia (ibu) lebih baik baginya (anak) daripada kamu (ayah) sampai dia (anak) tumbuh dan memutuskan ingin tinggal bersama siapa!”

Ibu harus merawat anak-anaknya, membesarkannya dengan baik, menanamkan kebaikan-kebaikan dan membuat mereka membenci kejahatan.  Ibu harus mengajari mereka mematuhi Allah, mendorong mereka membela kebenaran, jangan melarang mereka berjihad di jalan Allah. Hal itu sering dilakukan karena perasaan keibuan dalam hatinya.

Kita melihat seorang Wanita muslim, al-Khansaa dalam perang Qadasiyyah dengan penuh perasaan mendorong keempat anaknya untuk berani dan tabah.  Kemudian sesaat setelah perang berakhir dan berita tentang kematian keempat anaknya terdengar olehnya, dia tidak meratap dan tidak bertindak yang tidak pantas lalu dia berkata dengan pasti dan kepuasan, “Alhamdulillah! Allah memberiku kehormatan dengan kesyahidan mereka yang membeka agama.”

 

Para Ibu yang Diabadikan

Diluar bimbingan al-Qur’an, kita memiliki beberapa contoh hebat tentang pada ibu yang memiliki pengaruh dan tempat dalam sejarah keimanan pada Allah.  Misalnya, ibunya Musa a.s. yang menjawab ilham dan panggilan Allah untuk menghanyutkan buah hatinya ke sungai, karena percaya pada janji-janji Allah, “(Ingatlah) Ketika isteri Imaran berkata, Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang ada dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis).  Karena itu terimalah (nadzar) itu daripadaku.  Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 35)

Juga ibunya Maryam, yang bernadzar apa yang ada dalam kandungannya akan setia pada Allah, disucikan dari penyembahan apapun selain kepada Allah. Dia berdoa pada Allah agar Dia menerima nadzarnya, “Karena itulah terimalah (nadzar) itu daripadaku.  Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ketika dia melahirkan seorang bayi perempuan, yang tidak diharapkan, hal itu tidak membuat dia tidak memenuhi—mengingkari nadzarnya, malahan dia memohon kepada Allah untuk melindungi anaknya dari iblis. “Maka Ketika isteri Imran melahirkan anaknya, diapun bekata, Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan, dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.  Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunan kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran : 36)

Begitupun, al-Qur’an telah membuat Maryam r.a.---putrinya Imran dan ibunya Nabi Isa a.s.—sebuah contoh akan kesucian, kerendahan hati pada Allah dan percaya pada janji-janji-Nya. “Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami titipkan ke dalam rahimnya, sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At-Tahrim : 12).

 

Komentar